Halaman

Santi Sang PSK 2


Santi Sang PSK 2

Santi melebarkan sedikit kakinya. Kejantananku yang semakin mengeras kuarahkan ke dalam lubang kenikmatannya. Nafas kami sama-sama sudah tidak beraturan. Kucium bibir dan buah dadanya."Sekarang masukin saja ya!" katanya. Dibimbingnya kejantananku menuju lubang guanya. Dan..

Slepp.. Blesshh!

Aku mulai menggerakkan pantatku. Cropp.. Cropp.. Crop bunyi diantara selangkangan kami mulai mengeras. Santi semakin meracau.

"Ehhnaakk.. Terus yang keraas yaang.. Ahh,"

Kugerakkan pantatku semakin cepat hingga kejantananku terasa mentok dirahimnya. Santi membalas gerakanku dengan gerakan memutar pinggulnya. Kakinya menjepit pinggulku, tangannya mejepit leher dan meremas rambutku. Demikian kami lakukan beberapa menit dengan mengatur tempo gerakan. Kalau desiran di penisku sudah terasa meningkat aku menurunkan tempo, setelah agak menurun maka kutingkatkan, kugenjot dengan cepat.

Kulirik bayangan di cermin. Aku seperti melihat film dengan diriku sendiri menjadi aktornya. Tubuhnya yang mungil tenggelam dalam pelukan dan genjotanku.

"Sudah.. To. Aku tidak kuat lagi!" jeritnya sambil mengetatkan jepitan kakinya.


Akupun dalam kondisi gairah yang memuncak, tinggal menunggu saat yang tepat dan kurasakan inilah saatnya. Gerakan badan dan pantatku semakin cepat, pinggulnya semakin liar berputar-putar.

"Santii.. Eeeghk.. Aku.. Mauu.. Keelluuaarr.. Ahh..!!"
"Ahh.. Ayo.. To. Ayo.. Sekaranghh".

Kutahan gerakan pantatku ketika dalam posisi naik. Dan akhirnya aliran lahar yang tertahan dari tadipun meledak. Kutindih tubuhnya dengan kuat. Ia mengendorkan jepitan pada pinggangku namun betisnya membelit betisku dan dengan mengait betisku pantatnya naik menyambut kejantananku yang terhunjam cepat. Penisku masih berdenyut di dalam vaginanya dan menyemprotkan sisa-sisa lahar.

Beberapa minggu kemudian akupun sudah diterima sebagai staf pembukuan di sebuah perusahaan di sekitar Harmoni. Selama bekerja Santi juga menjadi saluran bagi pemuasan gairahku.

Ketika pada suatu hari aku mampir ke rumahnya dia bilang mau menikah dengan seorang pengusaha toko sepatu. Namun dia tidak bilang kapan waktunya. Aku mendukung rencananya untuk menikah. Kuberikan kartu namaku dan kukatakan.

"Hubungi aku kalau kamu ada apa-apa!".

Ketika kucari dia di hotel tidak ada dan kemudian aku ke rumahnya, maka bapak pemilik rumahnya bilang ada titipan pesan untukku kalau dia sudah menikah.

Aku masih menjalani kehidupanku dengan menjalin hubungan dengan beberapa wanita dalam satu rentang waktu. Tentunya dengan manajemen waktu yang tepat agar tidak bertabrakan jadwal. Santi juga tidak pernah menelponku. Kupikir ya sudah, biarlah dia bahagia dengan kehidupan barunya.

Suatu sore pulang dari kantor aku berjalan ke arah Juanda. Tiba-tiba kulihat sekelebatan wajah seperti Santi berjalan di depan sana. Kukejar dan ternyata memang benar. Dia terkejut ketika aku memanggilnya.

"San.. Santi. Tunggu dulu!"
"Eh, Mas Anto. Apa kabar?" katanya sambil menjabat tanganku. Kupegang tangannya dan tidak segera kulepaskan.
"Baik. Kamu agak gemukan sekarang. Syukurlah kalau kamu sudah bahagia. Kok nggak pernah telpon aku?"
"Kartu nama Mas ditemukan suamiku dan dibuangnya".

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.

"Sekarang mau kemana?" tanyaku.
"Mau belanja di situ", katanya sambil menunjuk ke arah Pasar Baru.
"Boleh kutemanin ya!"
"Ngrepotin dan ngganggu acara Mas Anto saja".

Akhirnya kutemani dia belanja dan setelah selesai belanja kuajak dia makan di sebuah restoran fast food. Sambil makan dia cerita bahwa dia ternyata dijadikan istri muda. Dia diberikan modal untuk membuka warung kelontong. Namun suaminya jarang pulang ke rumahnya, lebih banyak di toko atau di tempat istri tuanya.

Dia berkata kalau dia kadang sangat kesepian. Secara materi dia sudah cukup, namun secara batiniah dia menderita. Sebenarnya suaminya bukan seorang yang lemah dalam hal permainan ranjang, namun karena frekuensi ketemunya jarang maka dia menjadi kesepian.

"Aku sangat senang bertemu kamu sekarang ini. Aku tidak menduga kalau masih bisa bertemu kamu," katanya.
"Iya, aku juga senang melihat kamu sudah hidup enak dan tidak menjadi hinaan orang. sudah malam, aku mau pulang," kataku. Ia termangu-mangu.
"To, aku mau mengulangi saat-saat yang kita jalani dulu," katanya. Bibirnya bergetar waktu menatapku. Aku ragu-ragu. Kemarin sore aku sudah terkapar lemas dengan seorang wanitaku. Bekas gigitannya masih kelihatan memerah di dadaku.
"Ayolah To. Kumohon!"

Akhirnya kuputuskan untuk menemaninya sore ini. Kami segera check in di hotel dekat sini. Karena lama tidak bertemu, maka ia dengan cepat sudah mencapai klimaks dan akupun segera menyusulnya. Terasa kering suasana sore itu, karena memang gairahku tidak maksimal. Santi sepertinya merasa juga bahwa aku kurang bergairah, tidak seperti dulu-dulu.

Ketika kami berbaring, ia melihat tanda merah di dadaku. Ia menarik napas panjang.

"Hhh. Pantas saja kamu tidak bergairah sore ini. Berapa kali kamu lakukan dan dengan pelacur mana?" katanya tajam.

Aku diam saja. Percuma saja meladeninya. Akhirnya setelah diam sejenak aku minta maaf dan menjelaskan bahwa setelah dia menikah akupun harus menyalurkan gairahku dengan wanita selain dia. Aku minta maaf untuk sore yang tidak menyenangkan ini dan ia memintaku untuk memuaskannya tiga hari lagi, pas jatuh pada hari libur nasional. Aku memintanya untuk mengenakan gaun panjang hitam dan sepatu hak tinggi. Kami pulang naik taksi dan kuantar dia sampai depan rumahnya. Aku sengaja tidak mampir dan iapun juga melarangku untuk mampir ke rumahnya.

Tiga hari kemudian kami bertemu di tempat yang telah disepakati. Santi mengenakan pakaian seperti yang kuminta. Kami segera menuju ke hotel yang terselip di dalam gang di daerah Senen. Setelah registrasi dan menyelesaikan administrasi, kamipun masuk ke dalam kamar.

Room boy yang mengantar kami kemudian berbisik, "Pak mau sewa video? Kalau mau saya ambilkan".

Aku kemudian mengiakannya. Room boy tadi kembali ke bawah dan tak lama kemudian sudah muncul kembali dengan video player dan tiga buah kasetnya. Waktu itu laser disc apalagi VCD belum banyak beredar. Sementara kami memasang kabel-kabel video ke TV kamar, Santi masuk ke kamar mandi. Setelah selesai memasang kabel, maka room boy tadipun keluar dan berpesan.

"Selamat bersenang-senang pak. Kalau Bapak pulang, videonya biar saja disini, nanti biar saya bereskan".

Setelah memasang kaset yang pertama, akupun membuka bajuku dan membaringkan tubuhku ke atas ranjang yang empuk. Sangat berbeda dengan ranjang di Tanah Abang dulu. Santi sudah berbaring di atas ranjang dengan tubuh tertutup selimut. Kucium dengan lembut, iapun membalasnya dengan lembut. Ia mengamati dadaku.

"Kamu sudah siap? Nanti seperti kemarin lagi. Aku hanya dapat sisa-sisa," katanya mencibirkan bibirnya. Kucubit pinggangnya dan iapun mengelinjang kegelian.
"Kita nonton video dulu ya.." katanya.

Sambil berpelukan kami menonton adegan demi adegan dalam video yang kuputar. Kaset pertama adalah film biru yang dibintangi aktris Mandarin. Adegan-adegan yang muncul adalah adegan seperti biasa dalam sebuah kaset BF. Namun karena kami nonton berdua maka ada suatu gairah lain yang muncul. Ketika adegan dalam video sudah makin panas maka ia pun berbisik.

"Mas.. Aku sudah terangsang. Ayo kita mulai!"

Kubuka selimut yang menutupi. Ia mengenakan baju senam yang mirip baju renang. Kami saling berciuman, berguling, menjilati, memagut dan mengusap bagian-bagian tubuh yang mendatangkan kenikmatan. Ketika bajunya kubuka dari bahunya, ternyata ia sudah tidak mengenakan pakaian dalam lagi. Ia mengerti keherananku.

"Kubuka waktu aku ke kamar mandi. Kalian sedang memasang video", katanya tersenyum.

Tangannya bergerak ke celanaku, membuka ikat pinggang, kancing dan ritsluiting kemudian menyusup ke balik celana dalamku, mengusap-usap kejantananku yang mulai berdiri. Ia bergerak ke arah kakiku dan setelah semua kain di tubuhku terlepas dengan cepat diciuminya kejantananku sehingga tak lama kemudian semakin tegak berdiri siap menghadapi lawannya.

Kuberikan isyarat agar ia memutar badannya ke atas. Kini mulut kami sudah asyik dengan mainannya. Kujilati bibir vaginanya, kubuka dengan tanganku dan akhirnya sampailah di gundukan kecilnya. Ia mendesah kuat ketika lidahku mulai bekerja di situ. Dibalasnya dengan suatu sedotan kuat pada penisku, kemudian tangannya mengocok batang penisku. Kami bergulingan dalam posisi itu. Kadang aku di bawah, kadang aku di atas. Setelah puas mulut kami bermain di selangkangan, maka kuhentikan babak ini.

Kutindih tubuhnya dan dengan satu tusukan penisku sudah masuk di dalam guanya yang lembab. Terasa lebih sempit dan nikmat dibandingkan dulu.

"Nikmat sekali San. Lebih sempit," kataku.
"Iya, karena jarang dipakai. Suamiku belum tentu seminggu sekali menggauliku.. He.. Hhh".

Ketika dengan cepat aku mulai menggenjotnya, maka lentingan pegas di ranjang terasa sangat membantu. Kugenjot dengan cepat, namun ada gaya tolakan dari lentingan pegas di ranjang sehingga dengan sedikit tenaga pantatku sudah naik dengan sendirinya.

Kuputar kakinya dan kuajak untuk bermain doggy style. Ia menurut saja. Sebentar kemudian tanpa melepaskan kemaluan, aku sudah berada di belakangnya dan menggerakkan pantatku maju mundur.

Plok.. Plok.. Plok.. Suara itu terdengar ketika pahaku beradu dengan pantatnya. Ia hanya sedikit menggerakkan pantatnya. Kurasakan ia tidak bisa menikmatinya, maka kami kembali dalam posisi semula. Setelah beberapa lama kemudian, ia memberi isyarat untuk mengakhiri permainan ini.

"Akhh.. Ahh. Lebih cepat dan kuat sayangku.. Ooouhh!"

Giginya menggigit bibir bawahnya, tangannya meremas rambutnya sendiri. Gerakanku semakin kupercepat dan lentingan pegas ke arah ataspun semakin kuat dan akhirnya

Hhhkk..

Badannya mengejang dengan bola mata memutih. Kugenjot lagi dan serr.. Spermaku tumpah ke dalam liang vaginanya. Setelah mandi dan berbaring menonton video lagi, lima belas menit kepalanya sudah bermain di selangkanganku.

"Jangan San.. Aku belum..".
"Tuh kan.. Kamu cepat loyo sekarang ini. Jangan-jangan kemarinpun kau sudah naik di atas perut wanita duluan".
"Nggak.. benar kok. Nggak. Beri aku waktu sebentar. Kamu akan kupuaskan sampek elek!"

Benar saja. Hari itu kami habiskan dengan dua puncak permainan yang lebih seru. Kembali kuantarkan Santi ke rumahnya. Kami tidak janjian untuk ketemu lagi, hanya kembali kuberikan nomor telpon kantorku dan ia berjanji untuk menelponku setiap kali membutuhkan pelepas dahaganya.

Namun kemudian sampai sekarang telpon darinya tidak pernah ada. Biarlah Santi menikmati kehidupannya sekarang dan menjadi memori masa laluku.




Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar