Moleknya Tubuh Anak Juraganku 3
- Members
- 3,362 posts
Jantungku bergerak kencang sekali, membuat langkahku limbung. Di depanku berjalan 4 cewek imut-imut alias ABG, Nita dan ketiga temannya, Indra, Lusi, dan Ita, menuju kamar Nita. Mulanya bingung harus bagaimana, tapi situasi yang memaksaku berbuat spontan saja. Mereka semua kusuruh duduk berjejer di tepi ranjang.
"Begini, kalian semua nggak perlu takut sama Oom. Oom nggak mungkin menyakiti kalian, kita sekarang akan bermain dalam dunia yang baru, yang belum pernah kalian rasakan. Kalian tak perlu malu, kalian tinggal menuruti apa saja yang Oom perintahkan. Sekali lagi rileks saja, anggaplah kita sedang menjalani pengalaman yang luar biasa."
Banyak sekali sambutan pembukaan yang keluar begitu saja dari mulutku, untuk meyakinkan mereka dan agar nanti tidak kacau. Akhirnya mereka menganggukkan kepala satu persatu sebagai tanda setuju. Di wajah mereka mulai muncul senyum-senyum kecil, tetapi jelas tak bisa menyembunyikan rasa malunya. Wajah mereka memerah kala aku mengucapkan kata-kata yang berbau gituan.
Singkat kata kusuruh mereka semua berdiri berhadapan, berpasangan. Nita memilih Indra sebagai pasangannya, sedang Lusi dengan Ita. Padahal batang kejantananku sudah gemetaran ingin segera melabrak mereka, tetapi nalarku yang melarangnya.
"Sekarang kalian coba saling membukakan baju pasangan kalian sampai tinggal BH dan celana dalam saja. Biar nanti sisanya Oom yang bukain."
Mulanya mereka ragu bergerak, untunglah ada Nita yang berpengalaman dan Ita yang agresif sekaligus paling cantik dan menggiurkan. Ita memang lebih menonjol dari semuanya, badannya yang bagus tergambar dalam baju tipisnya, hingga BH-nya menerawang membentuk gundukan yang sempurna. Nita dan Ita tampak tertawa kecil membuka kancing baju temannya yang tak bisa mengelak lagi. Dan tentu saja Indra membalas perbuatan Nita, demikian pula Lusi. Wah, tak kusangka jadi meriah sekali persis seperti lomba makan krupuk. Hatiku bersorak girang melihat mereka saling berebut melepas baju pasangannya. Sementara itu otakku terus berputar mencari solusi terbaik untuk step berikutnya, selalu saja setiap cara ada kemungkinan terjadi penolakan. Sebaiknya harus selembut mungkin tindakanku.
Pasangan Nita dan Indra kelihatan kompak, hingga tak banyak waktu mereka berdua telah telanjang, hanya BH dan celana dalam saja yang menempel di badannya. Untuk Nita tak perlu kuceritakan lagi, lagian para pembaca juga sudah pernah ikut menikmati keindahan tubuhnya pada episode yang lalu. Sedang Indra yang berbadan putih mulus masih malu-malu saja, sambil menutupi selangkangannya dengan tangan kanan ikut menonton Ita dan Lusi yang belum selesai. Sementara itu, Ita dan Lusi sampai bergulingan di lantai. Kelihatannya Lusi menolak dibuka rok bawahnya, tapi Ita tetap ngotot menelanjanginya. Nita dan Indra turut tertawa menonton pergulatan seru itu. Dan karena gemas melihat Ita kewalahan atas pemberontakan Lusi, Nita dan Indra segera bergerak membantu Ita dengan memegangi kaki Lusi yang tengah menendang-nendang. Secepat kilat Ita memelorotkan rok bawah Lusi sampai terlepas.
"Heehh.. kalian curangg.. Nggak mau, Lusi nggak mau sama kalian lagi.." Lusi berteriak dengan sengit dan seperti mau menangis.
"Tenang Lusi, kita kan lagi bersenang-senang sekarang, dan lagi kenapa kamu mesti seperti itu. Bukankah kamu sendiri tadi sudah ikut setuju. Dari tadi kan Oom nggak memaksa kamu. Yang penting kita tidak akan menceritakan kejadian ini pada siapa pun. Hanya kita-kita saja yang tahu. Kalau kamu malu itu salah. Percaya deh sama Oom."
Untunglah saranku kelihatannya dapat diterima, apalagi melihat Ita segera membuka bajunya sendiri yang kusut sekali. Satu persatu kancing bajunya dibuka, dan sekali merosot sekujur keindahan tubuhnya terpampang. Tak kusangka Ita terus melepas BH-nya, kemudian membungkuk dan melepas celana dalamnya. Seketika jantungku berhenti berdetak, seluruh susunan syarafku mengeras, sampai dada ini seperti mau meledak. Sebuah pemandangan yang menakjubkan terpampang begitu saja di depanku.
"Luar biasa.. Hebat.. Nah dengan begini berarti Lusi nggak boleh ngambek lagi lho. Lihat Ita telah membayar kontan. Yuk kalian semua sekarang duduk lagi di ranjang sini." Segera mereka sekali lagi menuruti perintahku. Aneh memang, selama ini aku nggak pernah kenal sama ilmu-ilmu gaib seperti di Mak Lampir, tetapi kenyataannya kok bisa mereka begitu saja patuh padaku.
"Nah sekarang kalian semua berbaring," Mereka patuh lagi. Dengan kaki terjuntai di lantai mereka semua membaringkan tubuhnya.
"Sekarang kalian diam saja, Oom akan memberi sesuatu pengalaman baru seperti yang kalian tonton waktu Oom sama Nita. Kalian tinggal menikmati saja sambil menutup mata kalian biar lebih konsentrasi." Sengaja aku menjatuhkan pilihan pertama pada Lusi.
Perlahan-lahan kubuka celana dalamnya, kakinya agak menegang. Sedikit demi sedikit terus kutarik ke bawah. Segundukan daging mulai terlihat. Detak jantungku kembali berdegup cepat. Dan lepaslah celana dalamnya tanpa perlawanan lagi. Gundukan bukit kecil yang bersih, dengan bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di sekelilingnya, tampak berkilatan di depanku. Sedikit kurentang kedua kakinya hingga terlihat sebuah celah kecil di balik bukit itu. Lalu dengan kedua jempol kubuka sedikit celah itu hingga terlihat semua isinya. Aku sampai menelan air liurku sendiri demi melihat liang kewanitaan Lusi. Kudekatkan kepalaku agar pemandangannya lebih jelas. Dan memang indah sekali. Aku tak bisa menahan lagi, segera kudekatkan mulutku dan kulumat dengan bibir dan lidahku. Rakus sekali lidahku menjilati setiap bagian liang kewanitaan Lusi, rasanya tak ingin aku menyia-nyiakan kesempatan. Dan tiap lidahku menekan keras ke bagian yang menonjol di pangkal liang kewanitaannya, Lusi mendesis kegelian. Kombinasi lidah dan bibir kubuat harmonis sekali. Beberapa kali Lusi mengejangkan kakinya. Aku tak peduli akan semerbak bau yang khas memenuhi seputar mulutku. Malah membuat lidahku bergerak makin gila. Kutekankan lidahku ke lubang liang kewanitaan Lusi yang sedikit terbuka. Rasanya ingin masuk lebih dalam lagi tapi tak bisa, mungkin karena kurang keras lidahku. Hal ini membuat Lusi beberapa kali mengerang keenakan.
"Aduhh.. Oomm.. enakk sekali.. teruss Oomm.. ohh.." Mulut Lusi mendesis-desis keenakan. Dan setiap lidahku menerjang liang kewanitaannya, Lusi menghentakkan pinggulnya ke atas, seakan ingin menenggelamkan lidahku ke dalam liang kewanitaannya. Banyak sekali cairan kental mengalir dari liang kewanitaannya, dan seperti kelaparan aku menelan habis-habisan. Persis seperti orang sedang berciuman, cuma bedanya bibirku kali ini mengunyah bibir liang kewanitaan Lusi hingga mulutku berlepotan lendir.
Ita yang berbaring di sebelah Lusi tampak gelisah, beberapa kali kulihat dia merapat-rapatkan pahanya sendiri. Rupanya dia ikut hanyut melihat permainanku. Diantara mereka berempat, dia memang yang tercantik. Karena itulah mungkin yang membuatnya sedikit genit, lebih matang, dan lebih 'berbulu'. Hebat nian, anak SMP liang kewanitaannya sudah selebat itu. Sambil mulutku bermain di liang kewanitaan Lusi, sedari tadi mataku terus memperhatikan liang kewanitaan Ita. Beberapa kali tanganku ingin meremasnya tapi kuatir kelakuanku bisa mengecewakan Lusi. Habis kalau dia ngambek bisa berantakan. Sebagai kompensasinya tanganku meremasi kedua payudara Lusi yang kecil dan nyaris rata dengan dada. Putingnya yang lembut kugosok-gosok dan kupencet.
"Lus, udah dulu yahh, nanti lain kali Oom lanjutin lagi, yahh." kataku sambil megecup bibirnya. Yang diajak ngomong tidak menjawab, cuma wajahnya jadi merah seperti kepiting rebus. Sekali lagi kukecup di keningnya.
Segera aku bergeser ke sebelah dan langsung menindih tubuh Ita. Ita yang cantik. Ita yang seksi. Walau tengah terlentang, payudaranya tetap tegak ke atas dan diperindah dengan puting yang besar. Kudekatkan bibirku ke bibirnya, langsung menghindar. Barangkali tak tahan mencium aroma liang kewanitaan Lusi. Wajarlah, memang mulutku seperti habis makan jengkol. Segera kuturunkan mulutku ke lehernya, kucumbui semesra mungkin. Ita kegelian. Lalu turun lagi. Sambil kuremasi, payudaranya segera masuk ke mulutku. Kuhisap dan kujilati putingnya. Karuan saja Ita meronta-ronta. Entah kegelian apa keenakan, aku tak peduli. Bergantian kedua payudaranya kujilati semua permukaannya. Nafsuku rasanya sudah di ujung ubun-ubun. Batang kejantananku telah mendongak perkasa sekali, beberapa kali berdenyut minta perhatian. Kalau saja memungkinkan ingin rasanya segera kumasukkan ke liang kewanitaan Ita. Sekali lagi nalarku terkontrol, karena memang aku sudah berjanji pada mereka. Tidak ada liang kewanitaan yang kumasuki batang kejantanan. Lagian memang aku benar-benar ingin semuanya berjalan mulus sesuai rencana. Coba kalau tiba-tiba ada yang menangis karena menyesal memberikan perawan mereka begitu saja padaku. Nggaklah.
Kaki Ita kurenggangkan sedikit. Bukit Berbunganya indah sekali. Yang namanya labia mayora sebetulnya nggak karuan bentuknya tapi selalu memancarkan keajaiban magnetis bagi setiap pria yang memandangnya (tentu yang normal atau paling tidak seperti aku). Barangkali kalau aku yang bikin daftar keajaiban dunia, Labia Mayora menempati urutan teratas. Siapa setuju kirim email, nanti kubawa berkas dukungannya ke Majelis liang kewanitaan Nasional.
Singkat kata segera mulutku kembali beroperasi di wilayah ajaib itu. Pelan-pelan kutarik dengan bibirku kedua labia mayora kepunyaan Ita secara bergantian. Kemudian, lidahku mencongkel keras ke pangkal pertemuan pasangan labia itu, dan berputar-putar di tonjolan daging kecilnya yang konon paling rawan sentuhan. Memang luar biasa efek sampingnya, seketika sekujur tubuh Ita bergoncang. Makin keras goncangannya, makin gila pula lidahku berayun-ayun. Aroma yang khas muncul lagi seiring mengalirnya lendir encer. Harta terpendam inilah yang kucari. Lidahku terus menyongsong ke dalam liang kewanitaan Ita.
Ita yang meronta-ronta menahan gejolak penjarahan liang kewanitaannya, berinisiatif mengambil bantal dan meletakkan di bawah pantatnya. Aku sampai heran perawan kecil ini kok sudah punya insting yang baik. Sambil kedua kakinya nangkring di pundakku, Ita membiarkan aku dengan leluasa menjelajahi seisi liang kewanitaannya. Kali ini lidahku berhasil masuk semua ke dalam liang kewanitaan, enak sekali.
Aku sudah tidak tahan lagi, segera tangan kananku mengocok batang kejantananku sambil segera berpindah ke sebelah lagi. Kali ini giliran Indra yang kelihatannya berdebar-debar menunggu giliran. Itu terlihat dari gerakan matanya yang gelisah. Tanpa basa-basi lagi kuraih sebuah bantal dan kuletakkan di bawah pantatnya, dan kurentangkan kedua kakinya menjepit badanku yang berlutut di lantai. Liang kewanitaannya merekah persis di depan hidungku. Sambil terus mengocok batang kejantanan, segera lidahku menerobos ke lubang senggamanya. Indra sempat berontak. Duilah aku sampai kesurupan, lupa sama teman bermain yang masih yunior. Oke, sofly and gently again maunya.
Sambil menahan nafas yang sebetulnya sudah ngos-ngosan (nggak sempat minum extra joss) kucumbui liang kewanitaan Indra. Liang kewanitaan yang satu ini agak gemuk dan berbulu walau tak selebat milik Ita. Walau tak seindah milik Ita, tapi tetap punya daya tarik tersendiri. Belum lagi aromanya yang semerbak harumnya. Tetap pelan-pelan, kutelusuri tiap lekukan yang ada di liang kewanitaannya. Sedap juga lho bermain slowly seperti ini. Klitorisnya yang agak besar bergoyang mengikuti gerakan lidahku. Entah kata-kata apa saja yang keluar dari mulut Indra. Kurang jelas memang. Tapi kuyakini itu suara erangan dan rintihan wanita yang tengah enjoy dan penuh semangat. Membakar semangatku pula dalam memacu tanganku pada batang kejantanan sendiri. Kedengarannya tragis sekali. Bak peribahasa orang kelaparan dalam lumbung padi.
Pantat Indra yang padat dan besar membuat lubang anusnya ikut terbuka waktu diganjal bantal. Tanpa rasa jijik sedikitpun kujilat-jilat anusnya. Indra makin mengaduh keenakan apalagi kala lidahku mencoba menerobos masuk ke anusnya. Indra pun menunjukkan kerja sama yang baik dengan mengangkat pinggulnya. Aku pun turut meningkatkan speed game-nya. Agak capai juga berlutut terus, aku naik ke atas dan menindih tubuh Indra. Kuciumi sekujur payudaranya yang tak kalah kencang dengan punya Ita. Dan walau kalah besar, keindahannya susah untuk dinilai. Sambil menciumi payudaranya, tanganku makin cepat mengocok batang kejantanan sendiri. Akhirnya aku tak dapat menahan lebih lama lagi, sekujur tubuhku tiba-tiba menegang. Seiring dengan semburan keras yang berapi-api di batang kejantananku, segera aku melumat habis mulut Indra yang mungil. Lidah Indra memberi sambutan hangat dengan mengais-ngais lidahku.
Selepasnya kami bercengkarama, mereka semua kecuali Anita akhirnya minta pamit setelah sebelumnya mereka memakai pakaiannya kembali. Setelah mereka pergi, saya melakukan percintaan dengan Anita kembali hingga 1 jam sebelum jam 6 karena Ibu Yuli akan pulang ke rumah pada jam 6 tepat. Selesai kami bercinta, saya berpura-pura mengerjakan antena parabola itu sambil sekali-kali mengerlingkan mata kepada Anita walaupun ibunya sedang mengerjakan tugas kantor di sisinya.
"Begini, kalian semua nggak perlu takut sama Oom. Oom nggak mungkin menyakiti kalian, kita sekarang akan bermain dalam dunia yang baru, yang belum pernah kalian rasakan. Kalian tak perlu malu, kalian tinggal menuruti apa saja yang Oom perintahkan. Sekali lagi rileks saja, anggaplah kita sedang menjalani pengalaman yang luar biasa."
Banyak sekali sambutan pembukaan yang keluar begitu saja dari mulutku, untuk meyakinkan mereka dan agar nanti tidak kacau. Akhirnya mereka menganggukkan kepala satu persatu sebagai tanda setuju. Di wajah mereka mulai muncul senyum-senyum kecil, tetapi jelas tak bisa menyembunyikan rasa malunya. Wajah mereka memerah kala aku mengucapkan kata-kata yang berbau gituan.
Singkat kata kusuruh mereka semua berdiri berhadapan, berpasangan. Nita memilih Indra sebagai pasangannya, sedang Lusi dengan Ita. Padahal batang kejantananku sudah gemetaran ingin segera melabrak mereka, tetapi nalarku yang melarangnya.
"Sekarang kalian coba saling membukakan baju pasangan kalian sampai tinggal BH dan celana dalam saja. Biar nanti sisanya Oom yang bukain."
Mulanya mereka ragu bergerak, untunglah ada Nita yang berpengalaman dan Ita yang agresif sekaligus paling cantik dan menggiurkan. Ita memang lebih menonjol dari semuanya, badannya yang bagus tergambar dalam baju tipisnya, hingga BH-nya menerawang membentuk gundukan yang sempurna. Nita dan Ita tampak tertawa kecil membuka kancing baju temannya yang tak bisa mengelak lagi. Dan tentu saja Indra membalas perbuatan Nita, demikian pula Lusi. Wah, tak kusangka jadi meriah sekali persis seperti lomba makan krupuk. Hatiku bersorak girang melihat mereka saling berebut melepas baju pasangannya. Sementara itu otakku terus berputar mencari solusi terbaik untuk step berikutnya, selalu saja setiap cara ada kemungkinan terjadi penolakan. Sebaiknya harus selembut mungkin tindakanku.
Pasangan Nita dan Indra kelihatan kompak, hingga tak banyak waktu mereka berdua telah telanjang, hanya BH dan celana dalam saja yang menempel di badannya. Untuk Nita tak perlu kuceritakan lagi, lagian para pembaca juga sudah pernah ikut menikmati keindahan tubuhnya pada episode yang lalu. Sedang Indra yang berbadan putih mulus masih malu-malu saja, sambil menutupi selangkangannya dengan tangan kanan ikut menonton Ita dan Lusi yang belum selesai. Sementara itu, Ita dan Lusi sampai bergulingan di lantai. Kelihatannya Lusi menolak dibuka rok bawahnya, tapi Ita tetap ngotot menelanjanginya. Nita dan Indra turut tertawa menonton pergulatan seru itu. Dan karena gemas melihat Ita kewalahan atas pemberontakan Lusi, Nita dan Indra segera bergerak membantu Ita dengan memegangi kaki Lusi yang tengah menendang-nendang. Secepat kilat Ita memelorotkan rok bawah Lusi sampai terlepas.
"Heehh.. kalian curangg.. Nggak mau, Lusi nggak mau sama kalian lagi.." Lusi berteriak dengan sengit dan seperti mau menangis.
"Tenang Lusi, kita kan lagi bersenang-senang sekarang, dan lagi kenapa kamu mesti seperti itu. Bukankah kamu sendiri tadi sudah ikut setuju. Dari tadi kan Oom nggak memaksa kamu. Yang penting kita tidak akan menceritakan kejadian ini pada siapa pun. Hanya kita-kita saja yang tahu. Kalau kamu malu itu salah. Percaya deh sama Oom."
Untunglah saranku kelihatannya dapat diterima, apalagi melihat Ita segera membuka bajunya sendiri yang kusut sekali. Satu persatu kancing bajunya dibuka, dan sekali merosot sekujur keindahan tubuhnya terpampang. Tak kusangka Ita terus melepas BH-nya, kemudian membungkuk dan melepas celana dalamnya. Seketika jantungku berhenti berdetak, seluruh susunan syarafku mengeras, sampai dada ini seperti mau meledak. Sebuah pemandangan yang menakjubkan terpampang begitu saja di depanku.
"Luar biasa.. Hebat.. Nah dengan begini berarti Lusi nggak boleh ngambek lagi lho. Lihat Ita telah membayar kontan. Yuk kalian semua sekarang duduk lagi di ranjang sini." Segera mereka sekali lagi menuruti perintahku. Aneh memang, selama ini aku nggak pernah kenal sama ilmu-ilmu gaib seperti di Mak Lampir, tetapi kenyataannya kok bisa mereka begitu saja patuh padaku.
"Nah sekarang kalian semua berbaring," Mereka patuh lagi. Dengan kaki terjuntai di lantai mereka semua membaringkan tubuhnya.
"Sekarang kalian diam saja, Oom akan memberi sesuatu pengalaman baru seperti yang kalian tonton waktu Oom sama Nita. Kalian tinggal menikmati saja sambil menutup mata kalian biar lebih konsentrasi." Sengaja aku menjatuhkan pilihan pertama pada Lusi.
Perlahan-lahan kubuka celana dalamnya, kakinya agak menegang. Sedikit demi sedikit terus kutarik ke bawah. Segundukan daging mulai terlihat. Detak jantungku kembali berdegup cepat. Dan lepaslah celana dalamnya tanpa perlawanan lagi. Gundukan bukit kecil yang bersih, dengan bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di sekelilingnya, tampak berkilatan di depanku. Sedikit kurentang kedua kakinya hingga terlihat sebuah celah kecil di balik bukit itu. Lalu dengan kedua jempol kubuka sedikit celah itu hingga terlihat semua isinya. Aku sampai menelan air liurku sendiri demi melihat liang kewanitaan Lusi. Kudekatkan kepalaku agar pemandangannya lebih jelas. Dan memang indah sekali. Aku tak bisa menahan lagi, segera kudekatkan mulutku dan kulumat dengan bibir dan lidahku. Rakus sekali lidahku menjilati setiap bagian liang kewanitaan Lusi, rasanya tak ingin aku menyia-nyiakan kesempatan. Dan tiap lidahku menekan keras ke bagian yang menonjol di pangkal liang kewanitaannya, Lusi mendesis kegelian. Kombinasi lidah dan bibir kubuat harmonis sekali. Beberapa kali Lusi mengejangkan kakinya. Aku tak peduli akan semerbak bau yang khas memenuhi seputar mulutku. Malah membuat lidahku bergerak makin gila. Kutekankan lidahku ke lubang liang kewanitaan Lusi yang sedikit terbuka. Rasanya ingin masuk lebih dalam lagi tapi tak bisa, mungkin karena kurang keras lidahku. Hal ini membuat Lusi beberapa kali mengerang keenakan.
"Aduhh.. Oomm.. enakk sekali.. teruss Oomm.. ohh.." Mulut Lusi mendesis-desis keenakan. Dan setiap lidahku menerjang liang kewanitaannya, Lusi menghentakkan pinggulnya ke atas, seakan ingin menenggelamkan lidahku ke dalam liang kewanitaannya. Banyak sekali cairan kental mengalir dari liang kewanitaannya, dan seperti kelaparan aku menelan habis-habisan. Persis seperti orang sedang berciuman, cuma bedanya bibirku kali ini mengunyah bibir liang kewanitaan Lusi hingga mulutku berlepotan lendir.
Ita yang berbaring di sebelah Lusi tampak gelisah, beberapa kali kulihat dia merapat-rapatkan pahanya sendiri. Rupanya dia ikut hanyut melihat permainanku. Diantara mereka berempat, dia memang yang tercantik. Karena itulah mungkin yang membuatnya sedikit genit, lebih matang, dan lebih 'berbulu'. Hebat nian, anak SMP liang kewanitaannya sudah selebat itu. Sambil mulutku bermain di liang kewanitaan Lusi, sedari tadi mataku terus memperhatikan liang kewanitaan Ita. Beberapa kali tanganku ingin meremasnya tapi kuatir kelakuanku bisa mengecewakan Lusi. Habis kalau dia ngambek bisa berantakan. Sebagai kompensasinya tanganku meremasi kedua payudara Lusi yang kecil dan nyaris rata dengan dada. Putingnya yang lembut kugosok-gosok dan kupencet.
"Lus, udah dulu yahh, nanti lain kali Oom lanjutin lagi, yahh." kataku sambil megecup bibirnya. Yang diajak ngomong tidak menjawab, cuma wajahnya jadi merah seperti kepiting rebus. Sekali lagi kukecup di keningnya.
Segera aku bergeser ke sebelah dan langsung menindih tubuh Ita. Ita yang cantik. Ita yang seksi. Walau tengah terlentang, payudaranya tetap tegak ke atas dan diperindah dengan puting yang besar. Kudekatkan bibirku ke bibirnya, langsung menghindar. Barangkali tak tahan mencium aroma liang kewanitaan Lusi. Wajarlah, memang mulutku seperti habis makan jengkol. Segera kuturunkan mulutku ke lehernya, kucumbui semesra mungkin. Ita kegelian. Lalu turun lagi. Sambil kuremasi, payudaranya segera masuk ke mulutku. Kuhisap dan kujilati putingnya. Karuan saja Ita meronta-ronta. Entah kegelian apa keenakan, aku tak peduli. Bergantian kedua payudaranya kujilati semua permukaannya. Nafsuku rasanya sudah di ujung ubun-ubun. Batang kejantananku telah mendongak perkasa sekali, beberapa kali berdenyut minta perhatian. Kalau saja memungkinkan ingin rasanya segera kumasukkan ke liang kewanitaan Ita. Sekali lagi nalarku terkontrol, karena memang aku sudah berjanji pada mereka. Tidak ada liang kewanitaan yang kumasuki batang kejantanan. Lagian memang aku benar-benar ingin semuanya berjalan mulus sesuai rencana. Coba kalau tiba-tiba ada yang menangis karena menyesal memberikan perawan mereka begitu saja padaku. Nggaklah.
Kaki Ita kurenggangkan sedikit. Bukit Berbunganya indah sekali. Yang namanya labia mayora sebetulnya nggak karuan bentuknya tapi selalu memancarkan keajaiban magnetis bagi setiap pria yang memandangnya (tentu yang normal atau paling tidak seperti aku). Barangkali kalau aku yang bikin daftar keajaiban dunia, Labia Mayora menempati urutan teratas. Siapa setuju kirim email, nanti kubawa berkas dukungannya ke Majelis liang kewanitaan Nasional.
Singkat kata segera mulutku kembali beroperasi di wilayah ajaib itu. Pelan-pelan kutarik dengan bibirku kedua labia mayora kepunyaan Ita secara bergantian. Kemudian, lidahku mencongkel keras ke pangkal pertemuan pasangan labia itu, dan berputar-putar di tonjolan daging kecilnya yang konon paling rawan sentuhan. Memang luar biasa efek sampingnya, seketika sekujur tubuh Ita bergoncang. Makin keras goncangannya, makin gila pula lidahku berayun-ayun. Aroma yang khas muncul lagi seiring mengalirnya lendir encer. Harta terpendam inilah yang kucari. Lidahku terus menyongsong ke dalam liang kewanitaan Ita.
Ita yang meronta-ronta menahan gejolak penjarahan liang kewanitaannya, berinisiatif mengambil bantal dan meletakkan di bawah pantatnya. Aku sampai heran perawan kecil ini kok sudah punya insting yang baik. Sambil kedua kakinya nangkring di pundakku, Ita membiarkan aku dengan leluasa menjelajahi seisi liang kewanitaannya. Kali ini lidahku berhasil masuk semua ke dalam liang kewanitaan, enak sekali.
Aku sudah tidak tahan lagi, segera tangan kananku mengocok batang kejantananku sambil segera berpindah ke sebelah lagi. Kali ini giliran Indra yang kelihatannya berdebar-debar menunggu giliran. Itu terlihat dari gerakan matanya yang gelisah. Tanpa basa-basi lagi kuraih sebuah bantal dan kuletakkan di bawah pantatnya, dan kurentangkan kedua kakinya menjepit badanku yang berlutut di lantai. Liang kewanitaannya merekah persis di depan hidungku. Sambil terus mengocok batang kejantanan, segera lidahku menerobos ke lubang senggamanya. Indra sempat berontak. Duilah aku sampai kesurupan, lupa sama teman bermain yang masih yunior. Oke, sofly and gently again maunya.
Sambil menahan nafas yang sebetulnya sudah ngos-ngosan (nggak sempat minum extra joss) kucumbui liang kewanitaan Indra. Liang kewanitaan yang satu ini agak gemuk dan berbulu walau tak selebat milik Ita. Walau tak seindah milik Ita, tapi tetap punya daya tarik tersendiri. Belum lagi aromanya yang semerbak harumnya. Tetap pelan-pelan, kutelusuri tiap lekukan yang ada di liang kewanitaannya. Sedap juga lho bermain slowly seperti ini. Klitorisnya yang agak besar bergoyang mengikuti gerakan lidahku. Entah kata-kata apa saja yang keluar dari mulut Indra. Kurang jelas memang. Tapi kuyakini itu suara erangan dan rintihan wanita yang tengah enjoy dan penuh semangat. Membakar semangatku pula dalam memacu tanganku pada batang kejantanan sendiri. Kedengarannya tragis sekali. Bak peribahasa orang kelaparan dalam lumbung padi.
Pantat Indra yang padat dan besar membuat lubang anusnya ikut terbuka waktu diganjal bantal. Tanpa rasa jijik sedikitpun kujilat-jilat anusnya. Indra makin mengaduh keenakan apalagi kala lidahku mencoba menerobos masuk ke anusnya. Indra pun menunjukkan kerja sama yang baik dengan mengangkat pinggulnya. Aku pun turut meningkatkan speed game-nya. Agak capai juga berlutut terus, aku naik ke atas dan menindih tubuh Indra. Kuciumi sekujur payudaranya yang tak kalah kencang dengan punya Ita. Dan walau kalah besar, keindahannya susah untuk dinilai. Sambil menciumi payudaranya, tanganku makin cepat mengocok batang kejantanan sendiri. Akhirnya aku tak dapat menahan lebih lama lagi, sekujur tubuhku tiba-tiba menegang. Seiring dengan semburan keras yang berapi-api di batang kejantananku, segera aku melumat habis mulut Indra yang mungil. Lidah Indra memberi sambutan hangat dengan mengais-ngais lidahku.
Selepasnya kami bercengkarama, mereka semua kecuali Anita akhirnya minta pamit setelah sebelumnya mereka memakai pakaiannya kembali. Setelah mereka pergi, saya melakukan percintaan dengan Anita kembali hingga 1 jam sebelum jam 6 karena Ibu Yuli akan pulang ke rumah pada jam 6 tepat. Selesai kami bercinta, saya berpura-pura mengerjakan antena parabola itu sambil sekali-kali mengerlingkan mata kepada Anita walaupun ibunya sedang mengerjakan tugas kantor di sisinya.